Minggu, 17 Maret 2013

Impor Beras VS Impor Gandum


VS
 Belakangan ini, perekonomian Indonesia banyak disoroti karena telah berhasil mengalami penigkatan di kala dunia mengalami guncangan di pasar modal global. Dibanding tahun lalu, Indonesia sepanjang tahun ini mampu mencatatkan pertumbuhan ekonomi di atas 6,7%. Dibalik prestasi ekonomi ini, sumbangan sektor pertanian dan pengolahan masih 39% dari total  pendapatan masyarakat. Padahal, sektor inilah yang sangat penting dalam mewujudkan suatu pertumbuhan ekonomi yang berkualitas.
Kontras dengan perekonomian nasional, kondisi pangan negara kita saat ini sangat memprihatinkan. Dimulai dengan masalah perubahan iklim yang banyak menyebabkan petani gagal tanam, bahkan gagal panen. Masalah-masalah ini juga semakin parah dengan terus meningkatnya konsumsi pangan rakyat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk.
Semakin sempitnya lahan akan meniadakan kesempatan kerja masyarakat bahkan merenggut pekerjaan para petani. Padahal sektor ini adalah sektor yang tradable, yaitu yang mampu menyerap banyak tenaga kerja sebagai penopang perekonomian nasional. Faktanya, rata-rata lahan pertanian tiap petani hanya seluas 0,2 Ha, suatu angka yang menunjukkan rendahnya produktifitas hasil pertanian negara kita.
Kurangnya produktifitas pangan kita saat ini tak mampu lagi menopang tingginya tingkat konsumsi masyarakat. Yang paling disoroti adalah ketidakmampuan untuk mencukupi kebutuhan makanan pokok seperti beras dan gandum. Akibatnya negara kita harus sedikit mengimpor dari negara lain untuk mencukupi tingginya konsumsi beras dan gandum serta makanan pokok lainnya. Angka import tanaman pangan Indonesia saat ini telah mencapai 1.180.809.168 kg.
Konsumsi pangan pokok tertinggi negara kita adalah beras dengan jumlah sekitar 90.000 kg per kapita. Untuk mengurangi angka ketergantungan masyarakat yang sangat tinggi ini, cukup banyak kebijakan-kebijakan yang telah dirilis pemerintah untuk mengurangi atau setidaknya menekan ketergantungan masyarakat akan beras. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan menaikkan harga beras. Pada tahun ini saja kenaikan harga beras mencapai 20%.
Dampak positif dari kebijakan ini adalah munculnya kesadaran masyarakat akan diversifikasi pangan. Masyarakat mulai mencari makanan pengganti beras yang harganya jauh lebih murah. Beberapa kalangan mulai mengkonsumsi umbi-umbian seperti kentang, ketela pohon, ketela rambat dan umbi-umbian lain. Namun, masyarakat yang mulai mengkonsumsi umbi-umbian jumlahnya sangat minor, kebanyakan dari mereka adalah orang-orang menengah ke atas dan memahami tentang nutrisi pada umbi-umbian. Di lain pihak masyarakat menengah kebawah yang jumlahnya jauh lebih banyak memilih mengkonsumsi makanan dengan harga murah, sedap, dan jumlahnya melimpah, yaitu mie instan.
Mie instan telah menjadi makanan nasional saat ini. Banyak merek menawarkan berbagai variasi rasa dan hal ini terbukti ampuh menarik minat masyarakat untuk berbondong-bondong mengkonsumsi mie instan. Tingginya peminat mie instan ini jelas menyuburkan bisnis mie instan. Produksi mie instan semakin lama semakin meningkat dengan semakin tumbuhnya kuantitas konsumen mie instan.
Selain mie instan, roti juga merupakan makanan yang sangat diminati masyarakat karena cita rasa serta harganya yang terjangkau. Konsumsi roti dan kue sangatlah tinggi di Indonesia, tiap harinya masyarakat di Indonesia tidak dapat lepas dari roti dan kue. Konsumsi roti dan kue yang tinggi di Indonesia memang sering dikaitkan dengan masalah-masalah pergeseran budaya. Namun, di samping itu ada masalah lain yang cukup kompleks dihadapi oleh negara kita, dari manakah pengusaha-pengusaha roti dan mie itu memperoleh bahan baku yaitu tepung gandum?
Indonesia mengimpor gandum sebesar 95%, sebuah angka yang fantastis bagi sebuah komoditas impor. Dengan angka yang begitu tinggi, negara kita sangat tergantung pada negara penghasil gandum. Negara kita juga otomatis menjadi pasar yang pesat karena besarnya jumlah konsumen gandum. Hal inilah yang sangat dimanfaatkan betul oleh para pengusaha gandum untuk terus menjejali negara kita dengan gandum karena negara kita hampir tidak mungkin berswasembada gandum.
Pemerintah, khususnya Bulog begitu dicela karena negara kita tidak bisa lepas dari impor beras. Tapi, dilihat dari data statistik, impor beras kita turun sekitar 2% dan impor gandum tahun ini naik sampai 9%. Apabila dua angka tersebut dibandingkan, maka seharusnya impor gandum lebih disoroti. Namun  kenyataannya, sampai saat ini banyak pihak yang saling menyalahkan atas ketidakmampuan negara kita untuk swasembada beras, namun tidak sadar bahwa negara kita juga ketergantungan oleh pangan lain yaitu gandum.
Beras memang telah menjadi makanan nasional kita sedari dulu. Tanah kitapun sangat subur dan beras mudah ditanam di Indonesia. Dilain pihak gandum memang tidak dapat ditanam di tanah Indonesia. Walaupun ada beberapa orang yang berhasil menanam gandum, tapi jumlahnya sangat kecil sekali. Jadi hal ini menjadi semacam  kompromi untuk mengimpor gandum.
Seharusnya, masyarakat tidak mudah terbutakan dengan masalah impor gandum ini. Hal ini sangat penting dilakukan karena semakin meningkatknya impor gandum di Indonesia, dapat membuat negara kita ketergantungan akan gandum dan harus terus mengimpor. Suatu saat nanti, apabila hal ini terjadi, negara kita akan mengalami saat-saat yang berbahaya karena tidak akan mungkin mampu berswasembada dan akan menyeret kita pada kolonialisasi-kolonialisasi harga pangan dunia sehingga perekonomian nasional akan jatuh.
Selain berharap pada masyarakat untuk sadar akan pentingnya memperhatikan angka impor gandum, perlu ada usaha preventif dari pemerintah.  Untuk dapat mencapai suatu pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, pemerintah harus mampu mengendalikan inflasi. Pertumbuhan ekonomi sebagian besar didorong konsumsi masyarakat. Jika inflasi tinggi, daya beli masyarakat menurun dan konsumsi masyarakat akan berkurang. Ini tentu berdampak pada pertumbuhan ekonomi.
            Tanggung jawab besar juga harus dijalankan oleh tiap individu untuk membiasakan diri tidak mengkonsumsi gandum. Memang sangat sulit untuk sama sekali tidak mengkonsumsi gandum, namun dengan membatasi konsumsi gandum tiap harinya, kita dapat mengurangi angka impor negara kita.

Tidak ada komentar: