Minggu, 18 Oktober 2015

Overdosis Nitrogen

Selamat sore kanca

Lama sekali rasanya tidak menulis. Rindu betul dengan blog ini, tapi apalah daya, lima bulan ini rasanya saya agak sering di lapangan, tak sempat duduk manis di depan komputer dan menulis, lagipula koneksi internet kurang reliabel di banding di sini (red: Yogyakarta).

Lima bulan, ya, lima bulan yang bagi saya terasa begitu singkat kali ini, karena bulan depan kontrak saya dengan Kementrian Pertanian untuk menjadi Pendamping Program Upaya Khusus Peningkatan Produksi Padi, Jagung dan Kedelai akan habis. Program dengan dana triliunan ini adalah upaya pemerintah untuk mencapai swasembada pangan. Sebagai salah satu Nawacita Pak Jokowi, program mahal ini memang lagi hits di kalangan Kementan.

Program ini pada dasarnya punya ambivalensi alias dua sisi, baik dan kurang baik. Sisi baiknya adalah, pemerintah disini memang terlihat sangat peduli pada sektor pertanian dengan menggelontorkan dana yang begitu besar berupa bantuan saprotan, kursus tani, modal tanam, dll. Saya salut dengan idenya, melibatkan mahasiswa dan fresh graduate untuk terjun langsung di lapangan membantu para penyuluh yang jumlahnya sangat amat kurang. Secara tidak langsung, mahasiswa pertanian diarahkan untuk mendedikasikjan dirinya untuk pertanian, mereka disiapkan untuk jadi penyuluh. Well, mungkin harapan Pak Mentan ya "ben mahasiswa pertanian ki ra do dadi pegawai bank wae lah". Btw, FYI, dulu pak Mentan mengawali karirnya sebagai penyuluh.

Sisi kurang baiknya akan saya soroti dari sisi ekologis saja, karena kalau dari perspektif administrasi, saya rasa banyak memang yang harus diperbaiki, tapi mungkin lain waktu saja, bukan concern saya. Well, kanca, tahukan kenapa saya ikut program ini? Selain karena kemaren butuh modal buat tes IELTS (red:butuh duit) sebenarnya saya ingin datang langsung dan melihat sistem budidaya, kelembagaan, kebudayaan dan kehidupan petani. Ibarat etnografi, saya mau life in. Saya memang aktif di gerakan penyelamatan lingkungan selama kuliah. Tapi saat itu saya mau tahu, apakah yang selama ini saya orasikan itu realistis di masyarakat, apakah yang selama ini saya tolak ideologinya itu benar-benar tidak baik.

Contoh konkritnya, saya berkali-kali mengajarkan pada anak-anak bahwa sebaiknya pupuk kimia itu dilarang, orang tua mereka di rumah yang masih menggunakan pupuk kimia sebaiknya diingatkan untuk mengurangi dosis atau bahkan menghentikan pemakaian. Setelah selama ini life in saya tahu betapa ketergantungannya petani dengan pupuk kimia, dan saya rasa pendekatan saya untuk mengkampanyekan pengurangan penggunaan pupuk kimia harus saya revisi.

Nah, sekarang saya mau cerita pengamatan saya di antara masyarakat tani di Cepu (saya ditempatkan di Cepu, Blora). Pupuk Nitrogen di masyarakat itu yang paling terkenal adalah UREA  (NH2)2CO, sedangkan penggunaan ZA (NH4)2SO4 less popular. Penggunaan NPK memang banyak, namun hanya sebagai pupuk komplementer dari UREA. UREA itu kandungan Nitrogennya 46% , kanca, kalau jaman dulu kata Pak Komandan Koramil, Nitrogen 46% itu digunakan untuk demolisher atau bahan peledak. Modyar ra? Sekarang, belum lagi ditambah NPK (biasanya Phonska) yang Nitrogennya 15%, tanah sawah itu sudah dicekoki Nitrogen yang overdosis menurut saya.

Selain menurunkan sifat tanah, mengurangi organisme biologis di tanah, overdosis Nitrogen ini juga dapat meningkatkan potensi terserangnya tanaman oleh penyakit, misalnya padi mudah terserang Kresek, Potong Leher, Tungro dll.Terus setelah terserang penyakit, disemprotlah dengan pestisida kimiawi. Nah, kandungan bahan kimia di bulir padi yang kita makan itu jadi banyak banget, to.

Dari program-program UPSUS yang saya lihat hampir semua menyediakan pupuk UREA secara gratis, dan sisanya subsidi. Ibarat gayung bersambut ya, kebiasaan petani menggunanakan Urea berlebih malah didukung oleh pemerintah. Akibatnya, ya petani ketergantungan Urea dan ketergantungan bantuan deh.

Saat ini saya sedang menghitung cara penghematan biaya dengan mengganti pupuk kimia dengan pupuk organik. Semoga ketemu rumusannya. Semoga juga ketemu cara menarik hati petani biar mengurangi penggunaan pupuk kimia. Hehehe

Well, sekian ceritanya kanca, banyak yang mau saya ceritakan, tapi besok-besok lagi ya..

Rabu, 10 September 2014

Totalitas Berotonomi “Otonomi Pangan dalam Darurat Bencana”

Indonesia menghadapi babak baru pasca berlakunya Otonomi Daerah. Cita-cita terselenggaranya suatu negara yang makmur dan sejahtera melalui Otonomi Daerah tidak mudah untuk diwujudkan. Berbagai masalah masih saja belum memperbolehkan Indonesia untuk makmur dan sejahtera melalui sistem desentralistiknya. Hal ini diperparah dengan serangkaian bencana alam yang terjadi belakangan ini.

Sektor Pangan dalam Otonomi Daerah
Otonomi daerah sejatinya merupakan komitmen Negara dan masyarakat daerah yang menyepakati terbentuknya Negara kesatuan. Saat itu, di penghujung milenium terbentuklah suatu kontraprestasi yang mengarahkan sistem pemerintahan sentralistik menuju desentralistik. Otonomi Daerah merupakan implementasi dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian direvisi melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004[1] tentang Pemerintahan Daerah.
            Diberlakukannya Undang-Undang Otonomi Daerah tersebut memberi otoritas penuh bagi pemerintah daerah untuk melaksanakan pemerintahan yang lebih luas secara mandiri. Hal ini, diharapkan akan membuka potensi daerah seluas-luasnya untuk pengembangan daerahnya serta memberi pemerataan dalam pembangunan. Potensi daerah yang begitu besar terutama pada sektor profitable seperti perkebunan, kehutanan dan pertambangan diharapkan dapat menopang pembangunan dan pembiayaannya sehingga masing-masing daerah dapat lebih maju, mandiri dan sejahtera.
            Menarik, tujuan Otonomi Daerah untuk kemajuan, kemandirian dan kesejahteraan daerah merupakan tujuan yang mulia. Namun, realitanya Otonomi Daerah tidak serta merta menjadikan suatu daerah maju, mandiri dan sejahtera. Perhatian pemerintah daerah cenderung terfokus pada sektor profitable. Memang, Penghasilan Asli Daerah (PAD) daerah tersebut akan cenderung tinggi. Namun, kesejahteraan nampaknya belum berpihak pada seluruh lapisan masyarakat. Sebagai salah satu indikator inti kesejahteraan, pangan menjadi satu sektor yang dianaktirikan.

Bencana Mengancam Pangan
            Fenomena bencana alam yang melanda Indonesia belakangan ini seperti banjir di berbagai wilayah di Jawa, erupsi Gunung Sinabung dan Kelud, serta gelombang tinggi di berbagai laut Indonesia  mau tidak mau mengganggu arus distribusi pangan di berbagai wilayah. Akibatnya, beberapa daerah mengalami kelangkaan dan kenaikan harga bahan pangan. BPS[2] mencatat bahwa pada bulan Januari 2014 terjadi inflasi sebesar 1,07 persen. Dari 82 kota tercatat 78 kota mengalami inflasi[3]. Inflasi tertinggi sektor pangan disebabkan oleh komoditas beras sebesar 0,05%. Inflasi ini merupakan dampak dari gelombang tinggi di beberapa laut di Indonesia serta banjir yang melanda bagian utara Jawa. Belum lagi pada bulan Februari terjadi erupsi Gunung Sinabung dan Kelud yang diprediksi menyebakan inflasi beberapa komoditas mencapai 2-3%.
Beberapa daerah masih bergantung pada daerah lain dalam pemenuhan kebutuhan pangannya, seperti pada komoditas beras. Saat terjadi bencana, daerah yang bukan penghasil beras mengalami kelangkaan dan kenaikan harga. Hal itu dirasa berat bagi masyarakat karena mereka sangat tergantung pada beras sebagai makanan pokok. Sehingga, apabila ada gangguan produksi atau distribusi maka kemungkinan terjadi inflasi dan daerah tersebut dapat mengalami krisis atau rawan pangan.

Otonomi Pangan      
Mari berpikir strategis, jika setiap daerah dapat berotonomi pangan, maka setiap daerah tidak perlu mengalami kelangkaan dan kenaikan harga komoditas pangan tiap terjadi masalah produksi dan distribusi. Bayangkan jika setiap daerah memiliki perhatian lebih pada pertanian, pada produksi pangan. Bayangkan, jika masyarakat memiliki kesadaran bahwa untuk mengkonsumsi harus juga bisa memproduksi, maka suatu daerah akan semarak untuk mandiri pangan dan kemandiran itu akan datang dengan sendirinya.
Bencana alam memang tidak dapat diprediksi kapan akan terjadi. Di sisi lain, urusan pangan adalah urusan yang tidak dapat ditunda. Jika ketersediaan pangan itu terganggu, baik itu karena masalah distribusi maupun produksinya, maka harusnya ada suatu sistem lumbung pangan yang selalu siap menyediakan cadangan makanan bagi daerahnya. Jika bencana terjadi, lumbung-lumbung pangan inilah yang menjadi tonggak suatu daerah untuk tahan pangan. Komoditas yang masuk dalam lumbung pangan tidak harus beras. Setiap daerah memiliki bahan pangan lokalnya sendiri dan itulah yang idealnya dikonsumsi dan dijadikan cadangan makanan.
Konsep lumbung pangan sebenarnya sudah ada bahkan jauh sebelum Otonomi Daerah. Dulu, setiap keluarga punya lumbung pangannya sendiri dari hasil pertanian keluarga. Kemandirian pangan keluarga ini lambat laun semakin terdegradasi seiring dengan involusi pertanian[4], dan berbagai persolahan lainnya. Kini, konsep ini harus direvitalisasi dan diimplementasikan pada semua masyarakat.
Lumbung pangan keluarga menjadi suatu solusi bagi masyarakat pasca bencana. Dengan lumbung pangan yang dimiliki masing-masing keluarga, maka ketergantungan akan bantuan pemerintah juga akan berkurang. Hal ini menjadi solusi yang edukatif bagi masyarakat. Di sisi lain perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat memberikan manfaat bagi modifikasi bentuk lumbung pangan yang aman dari bencana, seperti bentuk kapal yang aman dari banjir dan tsunami atau bentuk dome yang aman dari gempa bumi. 
Setiap daerah memang memiliki karakteristik alam serta kemampuan dalam menyediakan pangan bagi masyarakatnya sendiri. Harusnya masyarakat makan apa yang dapat diproduksi di daerahnya atau dengan kata lain harus menghargai pangan lokal di daerahnya masing-masing. Apalagi dalam keadaan darurat bencana, masyarakat ditantang untuk mengencangkan perut dan mengendalikan egonya dalam hal mengkonsumsi makanan. Jika keadaan gawat, masyarakat harusnya bertahan untuk makan seadanya, sesuai dengan apa yang dapat disediakan lingkungan sekitarnya.
Layaknya seperti berotonomi dalam mencari pendapatan daerah, otonomi juga harus dimaknai sebagai otonomi di semua sektor. Otonomi Daerah sebaiknya dilaksanakan dengan tidak menganaktirikan sektor tertentu. Sektor pertanian harus dianggap penting karena pangan menyangkut hidup matinya bangsa. Berotonomi harus total, bahkan sampai taraf rumah tangga. Pemerintah daerah maupun masyarakatnya harus total dalam melaksanakan Otonomi Daerah di kondisi darurat atau bahkan di kondisi apapun agar roda kehidupan mengarah pada kesejahteraan.




[1] Revisi menghasilkan pembagian urusan pemerintahan yang semakin jelas antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintahan Provinsi dan Pemerintahan Kabupaten/Kota.
[2]Berita Resmi Statistik: Perkembangan Indeks Harga Konsumen/InflasiNo. 10/02/Th. XVII, 3 Februari 2014
[3] Inflasi terjadi karena adanya kenaikan harga yang ditunjukkan oleh kenaikan indeks beberapa kelompok pengeluaran
[4] Geertz, C. 1983. Involusi Pertanian. Hal xxiii. Involusi Pertanian merupakan kemandekan atau kemaceran pola pertanian ditunjukkan oleh tidak adanya kemajuan yang hakiki.

Kamis, 17 Juli 2014

(3) Matahari Tenggelam

Lalu kau tiba-tiba hadir setelah terik yang panjang.
Dan sorot matamu sangat meneduhkan.
Tuhan  memberimu keindahan yang integral.
Dari tuturmu, perangaimu, kisahmu.
Sampai akhirnya aku sungguh-sungguh menatapmu.

Kehadiranmu membawa kebahagiaan, kasih.
Tapi memandangmu bukanlah momen yang mudah.
Kau pergi lagi mengalah pada malam.
Namun, hatiku masih berharap.
Karena esok pasti kau datang lagi.
Sampai akhirnya aku sungguh-sungguh mendambamu.

Selasa, 15 Juli 2014

(2) Kebetulan Tidak Disengaja

Kau mungkin tak kan mengira aku tak seberani yang kau kira.
Kaupun mungkin tak kan mengira sebenarnya aku begitu ceroboh.
Dan seiring waktu berlalu, semakin kau beredar di orbitku, kau mungkin kan merasa aku mulai mendambamu.
Ya, memang, tapi bukan saat itu.

Aku berkaca pada kepribadianku, yang merefleksikan apa yang orang lain akan lakukan padaku.
Mereka yang didekatku begitu mudahnya menggodamu atas namaku.
Jadi kurasa mungkin kau menganggapku menggodamu.
Mungkin itu karma karena aku juga sering jahil.

Tapi, sama sekali aku tak mendambamu, bahkan memikirkanmu saat itu.
Yang kutahu, aku adalah batu yang sarat harga diri.
Si batu akan bertindak seperti batu, independen dan tak mau berpaling wajah.
Bukannya aku menghindarimu, tapi aku menjaga jarak secara proporsional.

Namun tahukah kau?
Berkali-kali sikapku melawanku.
Membuatku berkali-kali salah ujar dan salah tingkah.
Lalu kau melihatku, dan kau pasti menganggapku mulai jatuh hati.
Belum kasih, belum saat itu.