Menurut Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Kehutanan (2012), penyelesaian
konflik adalah semua strategi yang berorientasi kepada tercapainya suatu
konflik dalam bentuk kesepakatan di antara pihak-pihak yang berkonflik yang
memungkinkan mereka untuk menyelesaikan konflik bersenjata tanpa harus
menangani penyebab-penyebab yang mendasari konflik. Penyelesaian konflik
bertujuan akhir untuk mengakhiri perilaku kekerasan melalui suatu persetujuan
perdamaian.
Menurut Nurjaya (2007) penyelesaian konflik dapat dilaukan dengan
beberapa strategi berikut ini:
- Negosiasi, melalui proses kompromi antara pihak-pihak yang bersengketa, tanpa mengundang kehadiran pihak ketiga untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi di antara mereka.
- Mediasi, melalui kesepakatan antara pihak-pihak untuk melibatkan pihak ketiga (mediator) dalam penyelesaian sengketa, walau hanya berfungsi sebatas perantara (go-between) yang bersifat pasif, karena inisiatif untuk mengambil keputusan sebagai wujud penyelesaian sengketanya tetap didasarkan pada kesepakatan pihak-pihak yang bersengketa.
- Arbitrasi, melalui kesepakatan untuk melibatkan pihak ketiga yang disebut arbitrator sebagai wasit yang memberi keputusan dan keputusan tersebut harus ditaati dan dilaksanakan oleh pihak-pihak yang bersengketa.
- Ajudikasi, sebagai model penyelesaian sengketa melalui institusi pengadilan yang keputusannya mengikat pihak-pihak yang bersengketa.
Namun demikian, selain
model-model penyelesaian sengketa seperti di atas, dalam masyarakat dikenal
juga model-model penyelesaian sengketa
seperti :
- Tindakan
kekerasan (coersion), sebagai aksi
yang bersifat unilateral dengan mengandalkan kekuatan fisik dan kekerasan,
seperti melakukan tindakan hukum sendiri (self-helf)
atau dalam bentuk perang antar suku (warfare).
- Tindakan
membiarkan saja (lumping it), yang
dilakukan oleh salah satu pihak dengan tidak menanggapi keluhan, gugatan,
tuntutan pihak yang lain, atau mengabaikan sengketa yang terjadi dengan pihak
yang lain.
- Tindakan
penghindaran (avoidance), yang
dilakukan salah satu pihak dengan menghindari sengketa dengan pihak lain,
karena sejak awal sengketa yang bersangkutan merasa secara sosial, ekonomi,
politik, dan psikologis merasa sudah tidak berdaya untuk menghadapi pihak yang
lain. Dengan demikian, tindakan menghindari sengketa diipandang paling aman dan
menguntungkan tidak saja bagi diri sendiri, tetapi juga bagi keluarga dan kerabat, dalam rangka menjaga hubungan sosial
yang bersifat jangka panjang (Nader & Todd cit.
Nurjaya, 2007).
Untuk kasus
di Bima, Mesuji dan Kulonprogo, jenis konflik yang terjadi adalah konflik
permukaan yaitu konflik yang muncul karena kesalapahaman atas sasaran yang
ingin dicapai bahkan cenderung ke arah konflik terbuka yaitu konflik atau
pertentangan yang sangat nyata dan berakar sangat mendalam. Dipandang dari
aspek substansi maka kasus ini merupakan konflik dimana isu pertentangan
terkait dengan substansi konflik. Dari
analisis tersebut, maka strategi yang ideal untuk penyelesaian konflik di
Mesuji, Bima dan Kulonprogo adalah:
- Negosiasi, pada praktiknya model ini dilakukan di awal, dimana kedua belah pihak dipertemukan agar tercapai kesepahaman. Melalui negosiasi diharapkan kedua belah pihak dapat terbuka tentang tujuan masing-masing, sehingga dapat dicari solusinya.
- Mediasi, apabila negosiasi tidak tercapai maka perlu adanya pihak ketiga sebagai perantara. Keputusan tetap di tangan kedua belah pihak yang berselisih. Mediator untuk kasus Mesuji, Bima dan Kulonprogo idealnya adalah Lembaga Swadaya Masyarakat.
- Arbitrasi, karena melihat urgensi dari penyelesaian konflik agraria di Indonesia, maka perlu dibentuk suatu lembaga independen khusus untuk menyelesaikan konflik. Lembaga ini idealnya diberi kewenangan khusus untuk meresolusi konflik agraria yang terjadi. Pentingnya membentuk lembaga independen ini adalah agar ada suatu bentuk penyelesaian konflik oleh suatu lembaga yang tidak mendapat intervensi dari pihak manapun dalam penyelesaian konflik. Selain itu keberadaan lembaga ini diharapkan dapat mempermudah menyelesaikan konflik karena secara spesifik memang menangani sengketa-sengketa agraria.
- Ajudikasi, pengadilan diharapkan menjadi jalan terakhir dalam penyelesaian konflik agraria. Dengan menggunakan jalur pengadilan sebagai jalur terakhir, maka diharapkan fakta-fakta sudah terbuka pra pengadilan.
- Tindakan penghindaran (avoidance), Menyelesaikan konflik sebaiknya memang dimulai dari bagian hulunya. Idealnya memang sebelum terjadinya konflik sudah ada tindakan-tindakan preventif agar konflik agraria tidak terjadi. Oleh sebab itu perlu adanya jaminan kesejahteraan petani terlebih dahulu. Kesejahteraan petani sebenarnya dapat mencegah terjadinya konflik. Jika petani dari awal sudah merasakan kesejahteraan, maka konflik tidak akan terjadi. Kesejahteraan petani tidak hanya dilihat dari segi fisiknya saja, namun non-fisik juga. Salah satu cara mensejahterakan petani adalah dengan penyuluhan hukum agraria.
Konflik yang telah terjadi idealnya
menjadi pelajaran berharga bagi seluruh warga Indonesia bahwa perlu adanya
sinergitas yang positif antara pemerintah, masyarakat, dan stakeholder lain dalam pencegahan dan penyelesaian konflik. Makna
konflik sosial sangatlah besar bagi pembangunan pertanian dan penguatan NKRI.
Konflik akan menimbulkan melemahnya stabilitas Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan pasti berimplikasi pada menurunnya pembangunan. Oleh karena itu
penyelesaian konflik akan sangat bermanfaat pada penguatan NKRI dan tercapainya
kesejahteraan petani.
Bacaan:
Nurjaya, I. N. 2007.
Memahami sengketa dan budaya penyelesaian sengketa dalam masyarakat
multikultural: perspektif antropologi hukum. Makalah dalam Seminar Nasional Penyelesaian
Sengketa Lingkungan
(Environmental Dispute Resolution). Yogyakarta
Yumi, E. D. Hastuti dan H. Koedoeboen.
2012.Pengelolaan Konflik Sumberdaya Hutan. Pusat Penyuluhan Kehutanan, Badan
Penyuluhan dan Pengembangan SDM, Kementrian Kehutanan. Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar