Sugeng dalu, kancaku.. Semoga selalu diparingi keterangan pikiran dan hati oleh Sang Gusti ya.. Kali ini ada fenomena yang sangat menarik yang ingin saya angkat, yaitu tentang beda keyakinan. Cukup kontradiktif dengan judulnya, namun sepertinya pada akhir tulisan ini juga ujung-ujungnya akan mengerucut ke arah sana. Tentu saja kita harus samakan persepsi dulu bahwa “hubungan” yang akan kita bahas malam ini bukanlah hubungan dalam arti luas, tetapi lebih pada hubungan sepasang manusia beda jenis (saya nggak tahu yang sejenis included nggak) yang dianugrahi rasa saling menyayangi, mencintai dan mengasihi.
Ah,
jujur berat saya mengangkat topik ini, ada perasaan membuncah untuk berbagi dan
berpendapat, namun disisi lain cukup bergetar hati saya karena pernah merasakan
kisah tentang hal-hal tersebut. Ya, saya pernah begitu jatuh cinta pada seorang
yang berbeda keyakinan, walau akhirnya rasionalitas mengalahkan perasaan saya. Tapi
sudahlah, mari melanjutkan tulisan ini.
Di negeri yang multikultural seperti di Indonesia ini, tidak jarang saya melihat
pasangan suami istri yang beda keyakinan. Dengan kondisi yang multikultur, orang
Indonesia sangat mudah berinteraksi satu sama lain dengan ras, suku, maupun keyakinan
yang berbeda darinya. Interaksi itu tak jarang memunculkan getar-getar asmara
(aih bahasanya) diantara dua pasang mata dan dua hati. Realitanya, hal itu jadi
sangat wajar dan banyak yang terlibat “cinta beda keyakinan”. Mulai dari
tetangga saya, teman, artis di TV, bahkan saya (dulu).
Some
says; Love conquers all (cinta mengalahkan segalanya). Jika dua insan sudah
dalam keadaan yang saling mencintai, semua jadi mungkin, bahkan keduanya sulit
dipisahkan. Jika dipisahkan, kedua insan mungkin akan berteriak saling
menderita. Tapi, jika bersatu, benarkah mereka akan bahagia? Atau, hanya mereka
berdua yang bahagia? Apakah kelak putra-putri mereka berdua bahagia? Nah
Sebenarnya,
beberapa waktu lalu saya melihat sebuah keluarga yang awalnya si suami dan
istri berbeda keyakinan, sampai salah satunya memutuskan untuk mengalah dengan
pindah agama. Namun, mungkin karena ada ketidak relaan dari orang tua yang
pindah agama maka diputuskan bahwa kelak jika lahir seorang anak, maka ia harus
ikut agama sang kakek/nenek. Hingga dalam keluarga itu hidup sepasang suami istri sekeyakinan dan seorang anak tanpa dosa yang berbeda keyakinan dengan kedua
orang tuanya. Bayangkan kanca, bayangkan, betapa akan sulitnya hidup si anak.
Contoh
lain terjadi pada tetangga saya di Malang, dimana menikahlah dua insan beda
keyakinan (namun kali ini tidak ada yang pindah agama). Ketika memiliki anak,
anak pertama ikut agama ayah, anak kedua ikut agama ibu. Kalau mereka hanya
dikaruniai satu anak, iklaskah salah satu pihak? Bisakah mereka hidup bahagia,
senang, dan tertawa hahahihi? Nyamankah keluarga seperti ini?
Pendapat
saya seperti ini, apakah dengan mengorbankan seorang anak atau calon anak masuk
dalam kondisi kebimbangan keyakinan, kebimbangan mengirimkan doa untuk kedua
orang tuanya, serta kebimbangan untuk mengimani Tuhan, hidup sepasang insan
yang beda keyakinan akan bahagia? Saya rasa, sungguh egois hubungan seperti
ini.
Perbedaan
itu indah kanca, bahkan beda keyakinan. Tapi mungkin perbedaan keyakinan itu
tidak untuk hubungan suami dan istri. Beristrilah atau bersuamilah dengan yang
se-keyakinan. Jadikanlah keluarga kita menjadi tempat yang nyaman untuk melepas
tawa, lelah, atau kesedihan. Jadikanlah keluarga kita menjadi tempat yang
nyaman untuk saling berbagi. Ini rasionalisasi saya kanca, monggo dikoreksi..
Scarlett 06/11/13
2 komentar:
Pernah terpikir? knp dulu pedagang2 dr india, arab, persia dgn mudah kawin dgn org nusantara meskipun beda keyaikinan? lalu skrg jdi mainstream keyakinannya itu
btw sejak kpn tampilne ky ngono, melu2 og -.-
Haha dari sudut pandang sosiologis dan antropologis memang seperti itu ya mas. Aku memang hanya menyoroti dari aspek psikologis, terlihat subjektif memang. Ya begitulah..
Eh moso to? Aku rareti yo... yo sik tak gantine.. hahaha
Posting Komentar