Senin, 23 September 2013
Pencegahan Konflik Agraria di Era Otonomi Daerah Menuju Penguatan NKRI “Belajar dari Kasus Mesuji, Bima dan Kulon Progo”
Oleh: Yuhan Farah Maulida
Otonomi daerah merupakan hasil kontraprestasi Negara dan masyarakat daerah yang menyepakati terbentuknya Negara kesatuan. Saat itu, di penghujung milenium terbentuklah suatu kontraprestasi yang mengarahkan sistem pemerintahan sentralistik menuju desentralistik. Otonomi Daerah merupakan implementasi dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian direvisi melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Pemberlakuan Undang-Undang Otonomi Daerah tersebut memberi otoritas penuh bagi pemerintah daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang lebih luas. Pemerintah daerah memiliki wewenang untuk berotonomi dalam pembangunan daerah pada berbagai bidang kecuali pertahanan, keamanan, hukum, agama, politik luar negeri serta kebijakan fiskal dan moneter nasional. Hal ini, diharapkan akan membuka potensi daerah seluas-luasnya untuk pengembangan daerahnya serta memberi pemerataan dalam pembangunan. Potensi daerah yang begitu besar terutama pada sektor profitable seperti perkebunan, kehutanan dan pertambangan diharapkan dapat menopang pembangunan serta pembiayaannya sehingga masing-masing daerah dapat lebih maju, mandiri dan sejahtera.
Pada dasarnya Otonomi Daerah memiliki tujuan yang sangat mulia bagi masyarakat daerah. Otonomi daerah membuka peluang untuk mempercepat pelayanan publik sehingga dapat mendekatkan pemerintah dengan masyarakat. Dengan penerapan Otonomi Daerah, masyarakat di daerah juga dapat lebih mudah digerakkan, dikembangkan dan diberdayakan, sehingga ketergantungan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat menjadi semakin kecil.
Salah satu cita-cita mulia Otonomi Daerah adalah berkurangnya konflik di daerah karena mediasi akan lebih mudah dilakukan jika pemerintah lebih dekat dengan masyarakat. Konlik agraria menjadi salah satu konflik yang diharapkan dapat diperkecil jumlahnya dengan pemberlakuan Otonomi Daerah. Dengan Otonomi Daerah, pemerintah daerah akan lebih mengerti kondisi masyarakat sehingga muncul tindakan-tindakan preventif untuk mencegah timbulnya konflik agraria, setidaknya itulah harapannya.
Potret Konflik Agraria Kontemporer
Selama ini konflik agraria sudah sangat popular di kalangan masyarakat. Pasalnya memang konflik ini merupakan warisan sejak zaman kolonialisme Belanda. Prof. Dr. Drs. Endriatmo Soetarto, MA mengatakan konflik agraria yang terjadi di Indonesia adalah perampasan tanah yang semakin meningkat dan massif akibat kolusi antara pemerintah dan pengusaha atas nama pertumbuhan ekonomi. Penyebab konflik antara lain kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada rakyat, seringkali regulasi pemerintah di buat asal-asalan tanpa melihat kondisi yang terjadi lapangan. Pemicu lainnya adalah tak ada perencanaan yang baik atas kondisi yang ada.
Pasca diimplementasikannya Otonomi Daerah kondisi pemberlakuan lahan masih saja memprihatinkan. Bahkan, dalam dekade terakhir ini konflik agraria semakin komplek dan sporadis. Di berbagai daerah konflik agraria sering kali timbul tenggelam. Konflik tersebut kebanyakan dilatarbelakangi permasalahan di sektor perkebunan, pertambangan, pertanian, kehutanan dan pariwisata. Sebagai contoh, konflik agraria yang terjadi di Bima, Kulon Progo dan Mesuji menjadi rangkaian kisah kelam ketidakadilan dalam pemberlakuan lahan di era Otonomi Daerah.
Konflik agraria yang terjadi di Bima dipicu oleh diterbitkannya SK Bupati Nomor 188/2010 tentang Ijin Usaha Pertambangan (IUP) PT. Sumber Mineral Nusantara (SMN). Penerbitan SK ini awalnya dimaksudkan untuk mendatangkan pendapatan daerah dari investasi asing. Namun, masuknya investasi disektor pertambangan ini, justru melucuti warga yang mayoritas adalah petani dari sumber penghidupannya. Ijin eksplorasi perusahaan ternyata tumpang-tindih dengan lahan warga sehingga memicu rentetan konflik sejak awal tahun 2011 lalu.
Konflik Agraria di Bima ini menjadi sorotan media selama tahun 2011 silam. Banyak pihak yang bersinggungan, rakyat yang dalam hal ini dirampas haknya dan berusaha menuntutnya kembali malah mendapatkan perlakuan yang tidak adil dari oknum-oknum pemerintah, perusahaan dan penegak hukum seperti penembakan, penculikan dan teror. Akibatnya, kondisi semakin parah dan muncul kerusuhan di Nusa Tenggara Barat. Beberapa media online memberitakan demonstrasi besar-besaran, pembakaran kantor camat dan bupati. Beberapa media online memberitakan kronologis konflik ini secara jelas, seperti pembakaran kantor Bupati Bima yang diberitakan oleh monitor.com, demonstrasi besar-besaran yang disusul dengan penembakan oleh aparat keamanan yang diberitakan vivanews,
Selain di Bima, konflik agraria yang terjadi di Mesuji belakangan ini juga telah menarik perhatian khalayak. Menurut Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, ada tiga lokasi konflik, yaitu di Desa Sodong, Kecamatan Mesuji, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, selanjutnya di Desa Sri Tanjung, Kabupaten Mesuji, Lampung tempat operasional PT BSMI, dan di kawasan register 45 PT Silva Inhutani. Konflik di Mesuji, secara umum dapat dipahami sebagai sebuah konfigurasi akan perbenturan dari kepentingan pemilik modal dengan rakyat untuk mengakses lahannya. Konflik mesuji secara kronologis sebenarnya cukup komplek untuk dijelaskan. Namun, beberapa media online telah cukup jelas memberitakan kronologis konflik, seperti pada radar lampung, okezone.com, tempo.co, suara pembaruan, serta yang terbaru konflik antara warga Desa Suka Agung, Kecamatan Way Serdang, Mesuji, Lampung, dengan PT Lambang Jaya yang diberitakan oleh republika.
Berbicara seputar konflik agraria di Kulon Progo, petani lahan pasir pantai yang sejak lama mengusahakan tanah yang dulunya marjinal sebagai penopang pangan bagi perut-perut manusia, harus juga berjuang melawan intervensi dari penambang-penambang pasir besi yang dikendalikan oleh investor-investor bermodal tinggi. Sebagai imbalan dari tetesan peluh mereka, mereka harus berebut lahan dengan penambang yang posisinya jauh lebih “dijaga” oleh pihak-pihak yang lebih berkuasa. Proyek pertambangan pasir besi di pesisir Kulon Progo sampai saat ini belum berhenti melahirkan konflik karena seringkali terjadi pengabaian hak hidup petani setempat.
Pelanggaran Hak Asasi Manusia juga mewarnai peliknya konflik di Tanah Pasir Subur Pesisir. Menurut Public Interest Lawyer Network (2010), sepanjang 2004-2010, terdapat 24 kasus kriminalitas terhadap petani (sekurang-kurangnya 175 orang) dan aktivis (sekurang-kurangnya 12 orang) di seluruh Indonesia. Di DIY saja, kriminalisasi dilakukan terhadap Tukijo (petani pesisir Kulon Progo), Slamet dan Fitriyanto (adik dan anak Tukijo) bahkan George Junus Aditjondro (akademisi) karena melawan ketidakadilan politik agrarian dalam kasus yang sama yaitu pertambangan pasir besi di atas tanah yang sah dimiliki oleh warga pesisir Kulon Progo.
Persamaannya antara kasus Bima, Mesuji maupun Kulon Progo adalah klaim Pemerintah yang mengatasnamakan Negara dengan segala bentuk intervensi dan kekuasaannya atas tanah-tanah yang sudah menjadi hak masyarakat seolah-olah sebagai tanah Negara. Padahal, dalam kenyataanya penggunaan tanah-tanah tersebut jauh dari kesan penyejahteraan masyarakat. Penggunaan tanah-tanah tersebut lebih untuk ekspansi industri-industri dan hanya berorientasi pada pertumbukan ekonomi praktis, jauh dari kesan pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Sedangkan perbedaannya, pada kasus Kulon Progo, selain konflik terjadi dengan penjajah bermodal, ada bumbu-bumbu keluarga kerajaan di dalamnya.
Permasalahan semakin pelik ketika perusahaan pemegang Hak Guna Usaha (HGU) meminta aparat penegak hukum untuk mengamankan usahanya. Alih-alih terwujudnya keadilan dalam pemecahan konflik, petani harus menghadapi kenyataan bahwa meraka juga akan berkonflik dengan aparat sewaan sang pemegang HGU. Ironis, sesama rakyat Indonesia harus terlibat konflik horisontal yang diskenario oleh sang pemegang kekuasaan. Sedangkan para penguasa, pengusaha perkebunan, pengusaha tambang, investor, birokrat serta antek-anteknya bisa tidur nyenyak di kasurnya yang empuk dan mahal yang dibeli dari hasil rampasan sumberdaya agraria para petani.
Pasca pemberlakuan Undang-undang Otonomi Daerah, Pemerintah Daerah memiliki kewenangan yang seluas-luasnya dalam mengelola lahannya. Dari otoritas pengelolaan lahan ini memang menjadikan beberapa daerah sebagai pusat pertumbuhan ekonomi baru di Indonesia. Beberapa daerah, secara signifikan telah manyumbang devisa Negara dan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui sektor perkebunan dan pertambangan. Namun, disisi lain ada politik transaksional yang disinyalir menjadi pokok masalah terjadinya beberapa konflik agraria di Indonesia.
Politik transaksional diindikasi terjadi berkaitan dengan pemilihan kepala daerah. Disinyalir, pembiayaan untuk memenangkan kursi kepala daerah sangatlah tinggi sehingga memerlukan biaya pengganti yang diperoleh dari retribusi serta bagi hasil usaha pertambangan dan perkebunan. Untuk memperoleh pendapatan ini dilakukanlah pemberian izin usaha pertambangan dan perkebunan yang kenyataannya tidak berpihak pada rakyat. Inilah sumber masalah dari konflik-konflik agraria yang terjadi pasca diberlakukannya Otonomi Daerah.
Strategi Penyelesaian Konflik Agraria
Konflik Agraria yang terjadi di Indonesia pada dasarnya merupakan konflik struktual dalam memperebutkan sumberdaya agraria. Konflik tersebut dapat terjadi di berbagai sektor tradable seperti sektor perkebunan, kehutanan, pertambangan, maupun pariwisata. Namun, sebenarnya, konflik struktural tersebut dapat dijadikan pemicu dalam perjuangan rakyat dalam menuntut perbaikan regulasi oleh pemerintah. Sebenarnya, dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, konflik struktural telah menjadi penyemangat dalam mencari identitas kebangsaan. Konflik agraria menggerakkan kebangkitan bangsa-bangsa terjajah untuk melepaskan diri dari jeratan kolonialisme.
Untuk menyelesaikan konflik-konflik agraria yang terjadi selama ini, Pemerintah Daerah harus mengimplementasikan reformasi agraria sesuai dengan regulasi yang berlaku. Reformasi agraria yang telah tertuang dalam Undang-undang Pokok Agraria merupakan restrukturisasi pengelolaan sumber-sumber agraria. Dengan reformasi agraria yang dilaksanakan sesuai dengan peraturan yang berlaku, maka ketimpangan penglolaan tanah, kemiskinan, sengketa dan konflik agraria dapat dikurangi.
Pemerintah daerah dan lembaga penegak hukum pada dasarnya merupakan pengadil antara pemodal dan masyarakat. Pemodal dan masyarakat serta pemerintah daerah dan aparat keamanan sebenarnya dapat hidup harmonis dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat. Dalam menjaga stabilitas Negara dari ancaman konflik agrarian, peran Pemerintah Daerah sangatlah besar. Isran Noor (2012) dalam bukunya menjelaskan 9 kerangka program strategis Pemerintah Daerah dalam menjaga dan mempertahankan NKRI yaitu yang pertama penguatan kelembagaan, prasarana dan operasional aparat pertahanan, keamanan, ketertiban serta penegakan hukum di wilayah-wilayah rawan atas ancaman kedaulatan NKRI. Kedua, perlu pengembangan program-program kesejahteraan masyarakat lokal dan ketiga pengembangan pusat-pusat pertumbuhan dan pengembangan ekonomi yang melibatkan partisipasi masyarakat. Keempat, yaitu akselerasi pembangunan infrastruktur dan sarana komunikasi. Kelima, perlu penguatan kelembagaan, organisasi dan manajemen bagi pemanfaatan sumberdaya alam lokal. Keenam, pengembangan sumberdaya manusia untuk mendukung program-program pengembangan ekonomi lokal. Ketujuh pengokohan ketahanan sosial-politik masyarakat dalam arti penanaman wawasan kebangsaan secara luas. Kedelapan, pemeliharaan stabilitas politik di daerah dimana pelaksanaan demokrasi dalam bentuk pilkada dan pemilu legislatif harus dijalankan tanpa menimbulkan luka-luka politik atau konflik sosial di daerah. Terakhir, perlu pengembangan sinergi hubungan yang harmonis, terarah dan bertanggung jawab antara pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten atau kota.
Dalam penyelesaian konflik agraria, perlu dibentuk suatu lembaga independen khusus untuk menyelesaikan konflik. Lembaga ini idealnya diberi kewenangan khusus untuk meresolusi konflik agraria yang terjadi. Pentingnya membentuk lembaga independen ini adalah agar ada suatu bentuk penyelesaian konflik oleh suatu lembaga yang tidak mendapat intervensi dari pihak manapun dalam penyelesaian konflik. Selain itu keberadaan lembaga ini diharapkan dapat mempermudah menyelesaikan konflik karena secara spesifik memang menangani sengketa-sengketa agraria.
Terakhir, menyelesaikan konflik sebaiknya memang dimulai dari bagian hulunya. Idealnya memang sebelum terjadinya konflik sudah ada tindakan-tindakan preventif agar konflik agrarian tidak terjadi. Oleh sebab itu perlu adanya jaminan kesejahteraan petani terlebih dahulu. Kesejahteraan petani sebenarnya dapat mencegah terjadinya konflik. Jika petani dari awal sudah merasakan kesejahteraan, maka konflik tidak akan terjadi.
Konflik yang telah terjadi idealnya menjadi pelajaran berharga bagi seluruh warga Indonesia bahwa perlu adanya sinergitas yang positif antara pemerintah, masyarakat, dan stakeholder lain dalam pencegahan dan penyelesaian konflik. Makna konflik sosial sangatlah besar bagi pembangunan pertanian dan penguatan NKRI. Konflik akan menimbulkan melemahnya stabilitas Negara Kesatuan Republik Indonesia dan pasti berimplikasi pada menurunnya pembangunan. Oleh karena itu mengelola konflik akan sangat bermanfaat pada penguatan NKRI dan tercapainya kesejahteraan petani.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar