Indonesia
menghadapi babak baru pasca berlakunya Otonomi Daerah. Cita-cita
terselenggaranya suatu negara yang makmur dan sejahtera melalui Otonomi Daerah
tidak mudah untuk diwujudkan. Berbagai masalah masih saja belum memperbolehkan
Indonesia untuk makmur dan sejahtera melalui sistem desentralistiknya. Hal ini
diperparah dengan serangkaian bencana alam yang terjadi belakangan ini.
Sektor Pangan dalam Otonomi
Daerah
Otonomi
daerah sejatinya merupakan komitmen Negara dan masyarakat daerah yang
menyepakati terbentuknya Negara kesatuan. Saat itu, di penghujung milenium
terbentuklah suatu kontraprestasi yang mengarahkan sistem pemerintahan
sentralistik menuju desentralistik. Otonomi Daerah merupakan implementasi dari
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian
direvisi melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004[1]
tentang Pemerintahan Daerah.
Diberlakukannya Undang-Undang Otonomi Daerah tersebut
memberi otoritas penuh bagi pemerintah daerah untuk melaksanakan pemerintahan
yang lebih luas secara mandiri. Hal ini, diharapkan akan membuka potensi daerah
seluas-luasnya untuk pengembangan daerahnya serta memberi pemerataan dalam
pembangunan. Potensi daerah yang begitu besar terutama pada sektor profitable seperti perkebunan, kehutanan
dan pertambangan diharapkan dapat menopang pembangunan dan pembiayaannya
sehingga masing-masing daerah dapat lebih maju, mandiri dan sejahtera.
Menarik,
tujuan Otonomi Daerah untuk kemajuan, kemandirian dan kesejahteraan daerah
merupakan tujuan yang mulia. Namun, realitanya Otonomi Daerah tidak serta merta
menjadikan suatu daerah maju, mandiri dan sejahtera. Perhatian pemerintah
daerah cenderung terfokus pada sektor profitable.
Memang, Penghasilan Asli Daerah (PAD) daerah tersebut akan cenderung tinggi.
Namun, kesejahteraan nampaknya belum berpihak pada seluruh lapisan masyarakat.
Sebagai salah satu indikator inti kesejahteraan, pangan menjadi satu sektor
yang dianaktirikan.
Bencana
Mengancam Pangan
Fenomena
bencana alam yang melanda Indonesia belakangan ini seperti banjir di berbagai
wilayah di Jawa, erupsi Gunung Sinabung dan Kelud, serta gelombang tinggi di
berbagai laut Indonesia mau tidak mau
mengganggu arus distribusi pangan di berbagai wilayah. Akibatnya, beberapa
daerah mengalami kelangkaan dan kenaikan harga bahan pangan. BPS[2]
mencatat bahwa pada bulan Januari 2014 terjadi inflasi sebesar 1,07 persen.
Dari 82 kota tercatat 78 kota mengalami inflasi[3].
Inflasi tertinggi sektor pangan disebabkan oleh komoditas beras sebesar 0,05%.
Inflasi ini merupakan dampak dari gelombang tinggi di beberapa laut di
Indonesia serta banjir yang melanda bagian utara Jawa. Belum lagi pada bulan
Februari terjadi erupsi Gunung Sinabung dan Kelud yang diprediksi menyebakan
inflasi beberapa komoditas mencapai 2-3%.
Beberapa daerah masih bergantung
pada daerah lain dalam pemenuhan kebutuhan pangannya, seperti pada komoditas
beras. Saat terjadi bencana, daerah yang bukan penghasil beras mengalami
kelangkaan dan kenaikan harga. Hal itu dirasa berat bagi masyarakat karena
mereka sangat tergantung pada beras sebagai makanan pokok. Sehingga, apabila
ada gangguan produksi atau distribusi maka kemungkinan terjadi inflasi dan daerah
tersebut dapat mengalami krisis atau rawan pangan.
Otonomi Pangan
Mari berpikir
strategis, jika setiap daerah dapat berotonomi pangan, maka setiap daerah tidak
perlu mengalami kelangkaan dan kenaikan harga komoditas pangan tiap terjadi
masalah produksi dan distribusi. Bayangkan jika setiap daerah memiliki
perhatian lebih pada pertanian, pada produksi pangan. Bayangkan, jika
masyarakat memiliki kesadaran bahwa untuk mengkonsumsi harus juga bisa
memproduksi, maka suatu daerah akan semarak untuk mandiri pangan dan kemandiran
itu akan datang dengan sendirinya.
Bencana alam memang
tidak dapat diprediksi kapan akan terjadi. Di sisi lain, urusan pangan adalah
urusan yang tidak dapat ditunda. Jika ketersediaan pangan itu terganggu, baik
itu karena masalah distribusi maupun produksinya, maka harusnya ada suatu
sistem lumbung pangan yang selalu siap menyediakan cadangan makanan bagi
daerahnya. Jika bencana terjadi, lumbung-lumbung pangan inilah yang menjadi
tonggak suatu daerah untuk tahan pangan. Komoditas yang masuk dalam lumbung
pangan tidak harus beras. Setiap daerah memiliki bahan pangan lokalnya sendiri
dan itulah yang idealnya dikonsumsi dan dijadikan cadangan makanan.
Konsep lumbung pangan
sebenarnya sudah ada bahkan jauh sebelum Otonomi Daerah. Dulu, setiap keluarga
punya lumbung pangannya sendiri dari hasil pertanian keluarga. Kemandirian
pangan keluarga ini lambat laun semakin terdegradasi seiring dengan involusi
pertanian[4],
dan berbagai persolahan lainnya. Kini, konsep ini harus direvitalisasi dan diimplementasikan
pada semua masyarakat.
Lumbung pangan keluarga
menjadi suatu solusi bagi masyarakat pasca bencana. Dengan lumbung pangan yang
dimiliki masing-masing keluarga, maka ketergantungan akan bantuan pemerintah
juga akan berkurang. Hal ini menjadi solusi yang edukatif bagi masyarakat. Di
sisi lain perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat memberikan manfaat
bagi modifikasi bentuk lumbung pangan yang aman dari bencana, seperti bentuk
kapal yang aman dari banjir dan tsunami atau bentuk dome yang aman dari gempa bumi.
Setiap daerah memang
memiliki karakteristik alam serta kemampuan dalam menyediakan pangan bagi
masyarakatnya sendiri. Harusnya masyarakat makan apa yang dapat diproduksi di
daerahnya atau dengan kata lain harus menghargai pangan lokal di daerahnya
masing-masing. Apalagi dalam keadaan darurat bencana, masyarakat ditantang
untuk mengencangkan perut dan mengendalikan egonya dalam hal mengkonsumsi
makanan. Jika keadaan gawat, masyarakat harusnya bertahan untuk makan seadanya,
sesuai dengan apa yang dapat disediakan lingkungan sekitarnya.
Layaknya
seperti berotonomi dalam mencari pendapatan daerah, otonomi juga harus dimaknai
sebagai otonomi di semua sektor. Otonomi Daerah sebaiknya dilaksanakan dengan
tidak menganaktirikan sektor tertentu. Sektor pertanian harus dianggap penting
karena pangan menyangkut hidup matinya bangsa. Berotonomi harus total, bahkan
sampai taraf rumah tangga. Pemerintah daerah maupun masyarakatnya harus total
dalam melaksanakan Otonomi Daerah di kondisi darurat atau bahkan di kondisi
apapun agar roda kehidupan mengarah pada kesejahteraan.
[1] Revisi
menghasilkan pembagian urusan pemerintahan yang
semakin jelas antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintahan Provinsi dan
Pemerintahan Kabupaten/Kota.
[2]Berita Resmi
Statistik: Perkembangan Indeks Harga
Konsumen/InflasiNo. 10/02/Th. XVII, 3 Februari 2014
[3] Inflasi
terjadi karena adanya kenaikan harga yang ditunjukkan oleh kenaikan indeks
beberapa kelompok pengeluaran
[4] Geertz,
C. 1983. Involusi Pertanian. Hal xxiii. Involusi Pertanian merupakan kemandekan
atau kemaceran pola pertanian ditunjukkan oleh tidak adanya kemajuan yang
hakiki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar