Mengintip Konflik Agraria di Negeri Agraris
Oleh: Yuhan Farah Maulida, Dewan Perwakilan Wilayah
III Perhimpunan Organisasi Profesi Mahasiswa Sosial Ekonomi Pertanian Indonesia
(POPMASEPI)
Reforma Agraria lahir berkat perjuangan kelas menengah
pribumi terdahulu untuk memerdekakan negeri dari feodalisme dan kolonialisme
atas segala sumberdaya agraria. Reforma Agraria ditandai dengan lahirnya
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
(UUPA 1960). Menurut Antoro (2012), proses
kelahiran UUPA merupakan tarik ulur antara kekuatan dua ideologi besar, yaitu
liberalisme dan sosialisme. Bukti penerimaan liberalisme dalam UUPA adalah
jaminan hak milik pribadi, dan bukti penerimaan nilai-nilai sosialisme dalam
UUPA adalah penegasan bahwa sumberdaya agraria berfungsi sosial, ketentuan
batas minimum dan maksimum penguasaan agraria (dalam hal ini tanah) oleh
individu maupun badan hukum. Dari segi ideologis, UUPA mencoba mencari titik
tengah di antara dua nilai yang menjamin kesejahteraan.
Cita-cita para pejuang pendahulu kita untuk
memerdekakan negeri dari foedalisme dan kolonialisme melalui UUPA memang
sungguh mulia, khususnya untuk kesejahteraan kaum menengah ke bawah. Namun,
pada kenyataannya, cita-cita luhur itu harus terkhianati dengan
tendensi-tendensi implisit dari golongan tertentu untuk melancarkan kepentingan
dan keuntungan pribadi. Hidden interest
oleh kaum pemodal mengakibatkan pecahnya konflik dengan berbagai masyarakat di
penjuru negeri ini.
Konflik Agraria di Mesuji, Bima, dan yang paling dekat
dengan kita, Kulon Progo, merupakan gambaran kelam pengacuhan terhadap Reforma
Agraria. Petani dijadikan korban atas kepentingan pemerintah dan para pemilik
modal atau kaum kapitalis. Akibatnya, konflik tak terelakkan, menurut catatan
DPR, sejak 2009 sudah tercatat 167 kasus konflik agraria yang harus
diselesaikan (Kompas, 12 Januari 2012).
Salah satu konflik yang saya soroti adalah konflik
tambang pasir besi di Kabupaten Kulon Progo Daerah Istimewa Yogyakarta. Persamaannya
dengan kasus Mesuji ataupun Bima adalah klaim “ngawur” Pemerintah yang
mengatasnamakan Negara dengan segala bentuk intervensi dan kekuasaannya atas
tanah-tanah yang sudah menjadi hak masyarakat seolah-olah sebagai tanah Negara.
Padahal, dalam kenyataanya penggunaan tanah-tanah tersebut jauh dari kesan
penyejahteraan masyarakat. Penggunaan tanah-tanah tersebut lebih untuk ekspansi
industri-industri dan hanya berorientasi pada pertumbukan ekonomi praktis, jauh
dari kesan pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Sedangkan perbedaannya, pada
kasus Kulon Progo, selain konflik terjadi dengan penjajah bermodal, ada
bumbu-bumbu keluarga kerajaan di dalamnya.
Berbicara seputar konflik agraria di Kulon Progo,
petani lahan pasir pantai yang sejak lama mengusahakan tanah yang dulunya marjinal
sebagai penopang pangan bagi perut-perut manusia, harus juga berjuang melawan
intervensi dari penambang-penambang pasir besi yang dikendalikan oleh
investor-investor bermodal tinggi. Sebagai imbalan dari tetesan peluh mereka,
mereka harus berebut lahan dengan penambang yang posisinya jauh lebih “dijaga”
oleh pihak-pihak yang lebih berkuasa. Proyek pertambangan pasir besi di pesisir
Kulon Progo sampai saat ini belum berhenti melahirkan konflik karena seringkali terjadi pengabaian hak
hidup petani setempat.
Permasalahan semakin pelik ketika perusahaan pemegang
Hak Guna Usaha (HGU) meminta aparat penegak hukum untuk mengamankan usahanya. Alih-alih
terwujudnya keadilan dalam pemecahan konflik, petani harus menghadapi kenyataan
bahwa meraka juga akan berkonflik dengan aparat sewaan sang pemegang HGU.
Ironis, sesama rakyat Indonesia harus terlibat konflik horisontal yang
diskenario oleh sang pemegang kekuasaan. Sedangkan para penguasa, pengusaha
tambang, investor, birokrat serta antek-anteknya bisa tidur nyenyak di kasurnya
yang empuk dan mahal yang dibeli dari hasil rampasan sumberdaya agraria para
petani lahan pasir pantai Kulon Progo.
Pelanggaran Hak Asasi Manusia juga mewarnai peliknya
konflik di Tanah Pasir Subur Pesisir. Menurut Public Interest Lawyer Network (2010), sepanjang 2004-2010,
terdapat 24 kasus kriminalitas terhadap petani (sekurang-kurangnya 175 orang)
dan aktivis (sekurang-kurangnya 12 orang) di seluruh Indonesia. Di DIY saja,
kriminalisasi dilakukan terhadap Tukijo (petani pesisir Kulon Progo), Slamet
dan Fitriyanto (adik dan anak Tukijo) bahkan George Junus Aditjondro
(akademisi) karena melawan ketidakadilan politik agrarian dalam kasus yang sama
yaitu pertambangan pasir besi di atas tanah yang sah dimiliki oleh warga
pesisir Kulon Progo.
Memang, selayaknya kasus-kasus seperti di Kulon Progo,
Mesuji, maupun Bima perlu partisipasi tangan-tangan “bersih” dan terampil dalam
mengoreksi produk-produk hukum yang menjadi landasan bagi lahan-lahan yang
sedang disengketakan. Koreksi ini perlu dilakukan oleh suatu lembaga yang
independen guna mengembalikan tahta UUPA sebagai Umbrella Law.
Tidak kalah penting dengan perlunya koreksi yuridis,
rakyat tani korban-korban konflik agraria selayaknya diberi perlindungan hak
asasi manusia. Perlindungan itu seharusnya berupa pemenuhan hak-hak secara utuh
atas keadilan, keselamatan, keamanan, perlindungan dan ketentraman dalam
kepemilikan lahan. Untuk memastikan pemenuhan seluruh hak-hak tersebut perlu
adanya penerapan nyata Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat 3; Bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Praktisnya, perlu adanya pengembalian paham-paham
kapitalis pada jalur Reforma Agraria yang populis.
Penulis adalah
mahasiswa S1 Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta.
Bacaan
Adjikusumo,
BSW. 2012. Jogja Gate. Sami Aji
Center. Yogyakarta.
Antoro.
2012. Keberpihakan Kaum Intelektual Di
Tengah Perjuangan Agraria. Makalah untuk Diskusi di BPPM Balairung, 21
September 2012.
Gunawan,
Wiradi. 2009. Seluk Beluk Masalah
Agraria: Reforma Agraria dan Penelitian Agraria. STPN. Yogyakarta.
Kamaluddin,
Laode M. 2012. Reformasi Agraria Dalam
Pergulatan Dialektis Otonomi Daerah Dan Pertumbuhan Ekonomi. Makalah untuk
Simposium Nasional “Reformasi Agraria, Otonomi Daerah, Kedaulatan Pangan dan
Ekonomi Bangsa” di Universitas Gadjah Mada, 26-27 Maret 2012.
Pranoto,
Suhartono W. 2012. Reforma Agraria
“Ditidurkan”?: Perspektif Historis-Antropologis. Makalah untuk Simposium
Nasional “Reformasi Agraria, Otonomi Daerah, Kedaulatan Pangan dan Ekonomi
Bangsa” di Universitas Gadjah Mada, 26-27 Maret 2012.
Sudjito.
2012. Konflik Lahan dan Solusinya: Untuk
Mewujudkan Ketahanan Pangan dan Kedaulatan Ekonomi Bangsa. Makalah untuk
Simposium Nasional “Reformasi Agraria, Otonomi Daerah, Kedaulatan Pangan dan
Ekonomi Bangsa” di Universitas Gadjah Mada, 26-27 Maret 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar